![]() |
MUKERCAB PPP KABUPATEN BOGOR |
PPP Kabupaten Bogor – Menjelang Muktamar ke-10 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dijadwalkan berlangsung pada 27–29 September 2025 di Ancol, Jakarta, dinamika politik internal partai mulai menghangat.
DPC PPP Kabupaten Bogor dalam Musyawarah Kerja Cabang (Mukercab) menegaskan sejumlah sikap tegas, termasuk penolakan terhadap beberapa draf perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang diajukan DPP.
Salah satu isu utama yang menuai penolakan keras adalah rencana penghapusan Majelis Pakar di tingkat wilayah dan cabang.
Selain itu, DPC PPP Bogor juga mendorong adanya ruang bagi calon ketua umum dari eksternal partai, sekaligus mengkritisi sejumlah pasal yang dianggap membuka peluang sentralisasi berlebihan di tangan pengurus pusat.
Isu Panas: Majelis Pakar Terancam Dihapus
Dalam draf AD/ART Muktamar ke-10, disebutkan bahwa Majelis Pakar hanya ada di tingkat pusat, sementara di DPW dan DPC akan dihapuskan.
Sikap ini langsung mendapat perlawanan dari DPC PPP Kabupaten Bogor.
Ketua DPC PPP Kabupaten Bogor Elly Rachmat Yasin menegaskan, penghapusan Majelis Pakar berpotensi merugikan partai secara elektoral.
Berdasarkan perhitungan, setidaknya 11.040 kader Majelis Pakar di seluruh Indonesia akan kehilangan peran struktural.
Jika setiap kader minimal membawa 25 suara, PPP berpotensi kehilangan 276 ribu suara, bahkan bisa lebih jika dihitung dari tokoh yang memiliki basis massa besar.
“Majelis Pakar bukan hanya simbol, tetapi ujung tombak yang mampu mendulang suara di akar rumput. Menghapusnya sama saja melepas kekuatan strategis PPP di daerah,” tegas Elly
Sentralisasi Kekuasaan DPP: DPC Bogor Tegas Menolak
Isu lain yang menuai perdebatan adalah rencana penghapusan kalimat “pengurus harian DPP bertindak dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial” dalam pasal AD/ART.
Jika kalimat tersebut dihapus, maka keputusan bisa diambil sepihak oleh Ketua Umum tanpa perlu musyawarah bersama.
DPC PPP Bogor menyebut langkah ini berpotensi menciptakan kekuasaan absolut yang bertentangan dengan semangat demokrasi partai.
“PPP lahir dari semangat kolektif, bukan kepemimpinan otoriter. Jika keputusan hanya satu orang, maka hilanglah esensi kebersamaan yang menjadi ruh partai,” ujarnya
Revisi Struktur Kepengurusan: Paling Banyak Jadi Paling Sedikit
Dalam draf AD/ART terbaru, jumlah pengurus DPC dibatasi maksimal 25 orang. DPC PPP Bogor menolak aturan ini karena dianggap tidak sesuai kebutuhan daerah.
Dengan 40 kecamatan di Kabupaten Bogor, pembatasan tersebut membuat banyak kader potensial tidak bisa terakomodasi.
Karena itu, DPC Bogor mengusulkan agar aturan diubah menjadi “paling sedikit 25 orang” sehingga jumlah pengurus bisa disesuaikan kebutuhan lokal.
“Setiap daerah memiliki karakter berbeda. Tidak bisa diseragamkan. Di Bogor saja, jumlah kecamatan banyak, jadi butuh struktur lebih luas untuk menggerakkan mesin partai,” jelasnya
Mahkamah Partai vs Majelis Etik: Potensi Masalah Baru
Isu lain yang menjadi sorotan adalah perubahan istilah Mahkamah Partai menjadi Majelis Etik. Menurut DPC PPP Bogor, perubahan ini berbahaya karena membatasi ruang penyelesaian sengketa.
Mahkamah Partai selama ini menjadi wadah untuk menyelesaikan sengketa internal, termasuk perselisihan hasil Pemilu.
Jika diganti menjadi Majelis Etik, maka fungsinya hanya sebatas urusan moral atau etika, bukan konflik hukum atau kepengurusan.
“Setiap Pemilu pasti ada sengketa. Jika Mahkamah Partai dihapus, siapa yang menyelesaikan perselisihan internal? Ini jelas merugikan daerah,” tegas salah satu anggota tim perumus.
Peluang Calon Eksternal: DPC Bogor Dorong Aturan Dibuka
Salah satu pasal kontroversial dalam draf AD/ART Muktamar 10 adalah syarat bahwa calon ketua umum harus minimal menjadi kader partai selama satu periode (5 tahun).
Aturan ini dinilai terlalu mengunci kandidat, sehingga hanya menguntungkan internal yang sudah lama berproses.
DPC Bogor meminta agar aturan ini direvisi agar calon dari eksternal juga diberi ruang. Hal ini sekaligus menanggapi rumor sejumlah tokoh nasional yang disebut-sebut siap maju, seperti Sandiaga Uno, Amran Sulaiman, hingga Agus Suparmanto.
“PPP harus terbuka. Jika hanya kader lama yang boleh maju, maka partai akan kehilangan momentum regenerasi dan peluang besar menarik tokoh potensial dari luar,” ungkapnya
Desentralisasi dan Otonomi: Mengembalikan Kewenangan Daerah
Dalam draf terbaru, pengesahan kepengurusan DPC harus dilakukan langsung oleh DPP, bukan DPW. Hal ini menimbulkan keluhan dari daerah karena proses menjadi panjang dan birokratis.
DPC PPP Bogor mengusulkan agar aturan dikembalikan seperti Muktamar ke-9, di mana pengesahan cukup dilakukan satu tingkat di atasnya. Dengan begitu, jalur administrasi lebih cepat dan otonomi daerah tetap terjaga.
“Kalau semua dikendalikan pusat, apa gunanya DPW dan DPC? PPP harus kembali pada prinsip desentralisasi, bukan sentralisasi,” tegas Elly
Usulan Pembentukan Majelis Tinggi
Selain menolak sejumlah pasal, DPC Bogor juga membawa gagasan baru: pembentukan Majelis Tinggi Partai.
Struktur ini diharapkan bisa menjadi lembaga pengendali kebijakan strategis, termasuk dalam menentukan calon presiden atau arah koalisi.
Majelis Tinggi akan berfungsi sebagai pengimbang kekuasaan Ketua Umum, sehingga keputusan partai tidak hanya bergantung pada satu figur.
Dinamika jelang Muktamar ke-10 PPP menunjukkan bahwa partai berlambang Ka’bah ini sedang berada di persimpangan jalan.
Apakah akan melanjutkan pola sentralisasi kekuasaan di tangan pusat, atau justru memberi ruang lebih besar pada kader daerah?
DPC PPP Kabupaten Bogor telah menegaskan sikap: menolak penghapusan Majelis Pakar, menolak sentralisasi berlebihan, mendukung calon eksternal, dan mendorong desentralisasi kepengurusan.
Kini bola berada di tangan DPW dan DPP.
Apakah suara dari Bogor akan didengar, atau justru diabaikan? Jawabannya akan terlihat pada Muktamar PPP ke-10 yang akan menjadi titik balik arah partai menuju Pemilu 2029.
TONTON SELENGKAPNYA